Loading

Sabtu, 08 September 2012

HARUSKAH ULANG TAHUN DIRAYAKAN?

Anda pasti pernah mendapat undangan perayaan ulang tahun dari keluarga, teman, rekan kerja, relasi bisnis, atau orang tuanya teman anak-anak kita. Anda mungkin memenuhinya atau mungkin juga tidak, tentunya dengan bermacam-macam alasan. Atau mungkin anda sendiri pernah merayakan hari ulang tahun anda atau anak-anak anda, entah dengan pesta sederhana sampai pesta yang meriah atau dengan acara do’a dan tausiah, atau dengan bentuk-bentuk lainnya yang menurut anda baik. 

Ada Apa dengan ULTAH ?

Dalam logika duniawi kita, misalkan kita punya sejumlah tabungan lalu setiap periode tertentu jumlahnya berkurang, sehingga kita sadar pada suatu saat nanti tabungan kita akan habis karena berkurangnya telah pasti sementara tidak ada penambahan (misalkan juga karena kita tidak mengambil ribanya). Kira-kira kita dalam posisi yang gembira atau gelisah? Tanpa memasukkan faktor-faktor lain (misalnya memang berkurangnya itu untuk infaq dan kita berharap pahala dari Allah), tentunya kita tidak senang dengan berkurangnya harta kita. Namun kelihatannya kita melupakan logika ini ketika berurusan dengan umur kita. 

Coba perhatikan, banyak diantara manusia yang begitu gembiranya tatkala umurnya berkurang setahun demi setahun. Bagaimana kita tahu bahwa mereka gembira? Ya dari pesta ulang tahun yang mereka adakan, dari senangnya mereka menerima perhatian dan ucapan selamat dari teman-teman dan saudara. Yang menjadi perhatian dalam tema ini adalah telah ditulisnya 4 hal dan salah satunya Ajal. Maksudnya, sampai kapan Ajal seseorang datang telah dituliskan. Ajal berkaitan erat dengan Umur seseorang. Ajal sama dengan panjang-pendeknya umur seseorang. Sebagai ilustrasi, jika seseorang ditetapkan berumur 60 tahun, berarti setiap tahun yang berlalu mengurangi jatah umurnya, yang berarti pula semakin dekat dengan masa ditentukannya Ajal. 

Jika kita menyadari hal ini, masihkan kita bisa bergembira dengan berlalunya tahun sementara amal kita tidak bertambah? Masih bisakah kita berpesta merayakan hari kelahiran kita padahal kita tidak tahu apakah amalan kita diterima Allah atau tidak? Senangkah kita menerima ucapan saudara dan sahabat kita yang pada hakikatnya adalah “selamat ya, sekarang umurmu berkurang lagi, dan engkau semakin dekat dengan kematianmu”? 

Mungkin sebenarnya hal-hal diatas sempat melintas dalam pikiran kita, tapi sayangnya seringkali kita abaikan karena lebih memperturutkan kesenangan kita. Atau karena takut dianggap tidak gaul atau kuno. Atau bimbang karena banyaknya orang yang melakukannya (ada syubhat/keragu-raguan/kerancuan dalam dada). Lalu kita pun mulai membuat pembenaran-pembenaran. 

Diantara pembenaran itu adalah perkataan “Lho…kita kan sedang mensyukuri nikmat Allah, karena kita masih diberi kehidupan yang baik, masih diberi kesempatan untuk hidup, diberi rejeki yang cukup, lalu kita ingin berbagi kebahagiaan dengan saudara dan sahabat”

Niat yang baik. Semuanya berawal dari niat yang baik. Bersyukur dan berbagi. Sungguh sebuah niat yang mulia. Dan setiap kita memang diperintahkan untuk bersyukur, demikian juga berbagi. Tapi Islam sebagai agama yang sempurna tidaklah melupakan bimbingan kepada umatnya tentang bagaimana cara bersyukur dan berbagi. Bukanlah Islam jika tidak mempunyai aturan dalam hal Niat dan Cara mencapainya. Dalam Islam terdapat prinsip “Niat yang baik harus diikuti dengan cara yang baik”. Tujuan tidak menghalalkan cara. Suatu perbuatan tercela tidak akan menjadi baik hanya karena niat yang baik. 

Dari Mana dan Untuk Apa? 

Pengetahuan tentang asal-usul sesuatu akan membantu untuk memahami hakikat adanya sesuatu itu. Apa latar belakangnya, apa tujuannya, hal-hal apa yang berkaitan dengannya, dan berbagai informasi lainnya. Demikian juga tentang ulang tahun ini. Dengan mengetahui asal-usul acara ulang tahun ini, akan menjadi jelaslah ketika hukumnya ditetapkan, dan akan menjadi indah ketika hikmahnya ditemukan. Penelusuran asal-usul perayaan ulang tahun akan banyak ditemukan dalam situs-situs berbahasa inggris, salah satunya ditemukan dalam 

yang kemudian diterjemahkan sebagai berikut: 

Dalam buku The Encyclopaedia Americana edisi 1991 menyebutkan: Dunia Mesir kuno, Yunani, Roma, dan Persia telah merayakan hari kelahiran Tuhan-tuhan, Raja-raja, dan para ksatria. Ralp dan Adelin Linton mengungkapkan hal ini dalam buku mereka yang berjudul The Lore of Birthdays. Dalam buku tersebut mereka menuliskan: Mesopotamia dan Mesir, yang merupakan tempat kelahiran peradaban, juga merupakan tempat pertama dimana para laki-laki mengingat dan memuliakan hari kelahiran mereka. 


Menjaga catatan hari kelahiran menjadi prinsip yang sangat penting pada masa itu karena tanggal kelahiran sangat penting untuk menjatuhkan ramalan. Jadi ada hubungan langsung antara praktek perayaan hari kelahiran Paganisme dengan Astrologi (ilmu perbintangan dan peramalan nasib). Perhatikan apa yang ditulis dalam Injil tentang ilmu perbintangan dan peramalan nasib 


(Yesaya 47:13-15): Engkau telah payah karena banyaknya nasihat! Biarlah tampil dan menyelamatkan engkau, orang-orang yang meneliti segala penjuru langit, yang menilik bintang-bintang dan yang pada setiap bulan baru memberitahukan apa yang akan terjadi atasmu! Sesungguhnya, mereka sebagai jermai yang dibakar api; mereka tidak dapat melepaskan nyawanya dari kuasa nyala api; api itu bukan bara api untuk memanaskan diri, bukan api untuk berdiang! Demikianlah faedahnya bagimu dari tukang-tukang jampi itu, yang telah kaurepotkan dari sejak kecilmu; masing-masing mereka terhuyung-huyung ke segala jurusan, masing-masing mereka terhuyung-huyung ke segala jurusan, tidak ada yang dapat menyelamatkan engkau. 


Tidak mengherankan jika kaum Yahudi kuno tidak merayakan hari kelahiran karena mereka menganggap hal itu adalah Paganisme. 


Begitu juga di dalam buku The World Book Encyclopaedia Volume 3 halaman 416, menyebutkan bahwa kaum Kristen di masa awal tidak merayakan hari kelahiran Yesus karena mereka menganggap bahwa perayaan hari kelahiran adalah tradisi Paganisme. 

Pada masa Herodeslah acara ulang tahun dimeriahkan sebagaimana tertulis dalam Injil Matius: Tetapi pada HARI ULANG TAHUN Herodes, menarilah anak Herodes yang perempuan, Herodiaz, ditengah-tengah meraka akan menyukakan hati Herodes. (Matius 14 : 6). Orang Nasrani yang pertama kali mengadakan pesta ulang tahun adalah orang Nasrani Romawi. Beberapa batang lilin dinyalakan sesuai dengan usia orang yang berulang tahun. Sebuah kue ulang tahun dibuatnya dan dalam pesta itu, kue besar dipotong dan lilinpun ditiup. 

(Baca buku Parasit Aqidah. A.D. El. Marzdedeq, Penerbit Syaamil, hal. 298) Dalam pencarian lainnya, tulisan-tulisan yang dimuat tidak lepas dari buku The Lore of Birthdays karangan Ralp dan Adelin Linton. Salah satu kutipan dari buku tersebut adalah: 

“The Greeks believed that everyone had a protective spirit or daemon who attended his birth and watched over him in life. This spirit had a mystic relation with the god on whose birthday the individual was born.” (Orang-orang Yunani meyakini bahwa setiap orang mempunyai arwah atau jin yang menjaganya yang hadir pada hari kelahirannya dan mengawasinya sepanjang hidupnya. Arwah ini mempunyai hubungan mistis dengan dewa pada saat hari dimana seseorang dilahirkan). 

Sebenarnya masih banyak tulisan tentang asal-usul peryaan ulang tahun ini, akan tetapi cuplikan diatas cukuplah untuk mengetahui betapa batilnya asal-usul acara ini, sampai-sampai kaum Yahudi dan Nasrani (Ahli Kitab) generasi awal tidak sudi merayakan tradisi kemusyrikan tersebut hingga datanglah generasi berikutnya yang merubahnya. 

Bagaimana dengan Islam? 

Pertanyaan tentang “bagaimana sih hukum ulang tahun menurut islam?” sudah sering ditanyakan oleh kaum muslimin. Perdebatan di dunia maya maupun dunia nyata sudah tidak terhitung lagi jumlahnya, masing-masing mengusung argumentasi, yang ujung-ujungnya berakhir dengan kondisi “masing-masing”. Tidak ada kesimpulan yang bisa meyakinkan satu sama lain. Yang berkeyakinan tidak boleh seringkali tidak mempunyai argumentasi yang mantab. Yang berkeyakinan boleh pun sebenarnya ada ganjalan di hatinya. Itulah Fitrah dan Hawa Nafsu. Fitrah manusia yang lurus akan selalu berusaha mencari kebenaran untuk menyelamatkan dirinya dan keluarganya. Sedangkan Hawa Nafsu tabiatnya adalah selalu mengajak kepada hal-hal yang menyenangkan dirinya. 

Dari Abu ‘Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anh, dia berkata : 
bahwa Rasulullah telah bersabda, “Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi ‘Alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi Mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 kata : Rizki, Ajal, Amal dan Celaka/bahagianya. maka demi Alloh yang tiada Tuhan selainnya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Allah lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga. (HR. Bukhari dan Muslim) 

Memangnya…apa tercelanya merayakan ulang tahun? 

Baiklah…bagi yang telah membaca dari awal pastilah sudah bisa menarik sedikit kesimpulan tentang betapa tercelanya asal-usul perayaan ulang tahun ini ditinjau dari kacamata Islam. Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa kaum musyrikin-lah yang pada mulanya menciptakan acara perayaan ulang tahun. 

Penyebutan kaum musyrikin disini untuk mewakili golongan yang beribadah kepada selain Allah, namun bukan dari golongan dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), karena dalam Al Qur’an Allah membedakan orang kafir menjadi 2: Ahli Kitab dan orang-orang Musyrik (lihat Surat Al-Bayyinah ayat 1 dan 6). Dan pencatatan sejarah menjelaskan bahwa kaum Yahudi dan Nasrani generasi awal tidak merestui perayaan ini karena berasal dari Paganisme. 

 Jika Yahudi dan Nasrani kuno saja tidak mau ikut-ikutan dalam perayaan ulang tahun, bagaimana mungkin Islam meridhoi acara ini? Bagaimana seorang muslim bisa menikmati dan berbangga diri larut dalam acara ini dengan segala sesuatu yang berkaitan dengannya…sedangkan Islam, telah mempunyai landasan yang tegas sebagaimana hadits berikut ini: 

 من تشبه بقوم فهو منهم

“Orang yang meniru suatu kaum, ia seolah adalah bagian dari kaum tersebut” [HR. Abu Dawud, disahihkan oleh Ibnu Hibban] 

Ya…dengan merayakan ulang tahun berarti telah meniru kaum yang mempelopori acara tersebut. Dan dengan meniru suatu kaum membawa konsekuensi menjadi bagian dari kaum yang ditiru. Bagaimana jika yang ditiru adalah kaum musyrikin? Allahul Musta’an. 

Islam lahir dengan tuntunannya yang lengkap untuk menyelisihi segala bentuk kekafiran di muka bumi, serta berlepas diri dari setiap bentuk kekafiran dan para ahlinya (orang-orang kafir). Yang berkaitan dengan tema ini, tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, beliau mendapati penduduk Madinah merayakan dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah, maka beliau bersabda: 

”Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya yang kalian bermain-main di dalamnya pada masa jahiliyah, dan Allah telah menggantikan keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian : “Hari raya kurban (Idul Adha) dan hari berbuka (Idul Fithri)”. [HR Imam Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i] 

Lalu bagaimana mungkin kaum muslimin hari ini asyik melestarikan hari raya (yaitu suatu perayaan yang berulang-ulang) yang dipelopori orang kafir? Dimanakah kemuliaan dan kewibawaan umat Islam? Jika ada yang berkata “Ada masalah apa dengan perayaan kaum musyrikin? Toh tidak berbahaya jika kita mengikutinya”. Jawabnya, seorang muslim yang yakin bahwa hanya Allah lah sesembahan yang berhak disembah, sepatutnya ia membenci setiap penyembahan kepada selain Allah dan penganutnya. Salah satu yang wajib dibenci adalah kebiasaan dan tradisi mereka, ini tercakup dalam ayat, 

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya” [QS. Al Mujadalah: 22] 

Lalu apa dong yang bisa kita lakukan di hari ulang tahun kita? Ya…biasa saja. Tidak perlu mengadakan perayaan khusus. Kalau kita ingin mensyukuri nimat Allah, seharusnya dilakukan kapan saja dan bukannya hanya setahun sekali. 

Dan mensyukuri nikmat Allah itu dilakukan dengan mengumpulkan 3 perkara: Mengakui bahwa nikmat itu dari Allah, Menyebut-nyebut nikmat tersebut, dan Menggunakan nikmat tersebut dalam rangka ketaatan kepada Allah Ta’ala. 

Jika kita menganggap ulang tahun itu untuk muhasabah, introspeksi, atau refleksi diri…seharusnya pun dilakukang sesering mungkin, bukan hanya setahun sekali. Karena bisa jadi akan sangat terlambat jika harus menunggu tahun depan untuk muhasabah. Bagaimana kalau kita mendapat undangan perayaan ulang tahun dari saudara, teman, atau sahabat? Maka kita berusaha semampu kita untuk menyampaikan prinsip yang kita yakini dan amalkan, serta meminta pengertian dari mereka. 

Dengan cara ini sebenarnya kita sudah mendakwahi mereka secara tidak langsung. Namun jika kita merasa bisa mendakwahi secara langsung, maka memberikan nasehat yang baik, lemah lembut, dan dengan niat yang ikhlas, mudah-mudahan dapat diterima dan lebih-lebih diamalkan.



Artikel yang berkaitan



0 komentar:

Posting Komentar